Pages - Menu

Senin

PANGGILAN: Sebuah Pengalaman Pribadi



Hadi Wahono


Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi didalam hidup saya (dan betul-betul merupakan pengalaman nyata), yang walaupun banyak detail telah terlupakan, tetapi secara garis besar dan keseluruhannya tidak pernah terlupakan, karena pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat mengesankan dalam hidup saya, dan pada masa terakhir ini saya hayati sebagai panggilan Tuhan (terlepas kebenarannya). Dari berbagai peristiwa yang kemudian saya hayati sebagai panggilan Tuhan inilah spiritualitas saya terus berkembang, walaupun memakan waktu yang panjang dan karena baru ditanggapi pada masa tua, sampai saat ini belum sempat terfahami dengan mendalam dan belum terinternalisasi dengan baik. Akibatnya, ketika orang lain seusia saya telah menemukan arti hidup dan kehidupannya dengan mantap, saya masih harus menjalani pergumulan spiritual yang hampir-hampir tiada akhir. Karena itu, blog yang saya maksudkan sebagai wahana berbagi hasil pergumulan yang masih belum berakhir ini saya namakan sebagai: “Pergumulan Spiritual”.
Untuk ringkasnya, ada baiknya saya langsung saja masuk pada cerita mengenai berbagai pengalaman hidup saya yang buat saya sangat mengesankan dan yang saya hayati sebagai panggilan Tuhan ini.

Saya dilahirkan dari keluarga yang sama sekali tidak mengenal agama, bahkan boleh dikata tidak mengenal Tuhan. Karena itu, saya sama sekali tidak percaya akan adanya Tuhan, apalagi Tuhan yang bisa dimintai tolong melalui doa. Buat saya kepercayaan pada Tuhan tidak masuk akal. Bagaimana saya bisa percaya pada hal-hal yang tak pernah dan tak bisa saya lihat? Bagaimana mungkin saya akan berdoa, karena saya tidak pernah tahu dimana Dia berada, apakah Dia bisa mendengarkan doa saya, apalagi melakukan sesuatu buat menolong saya.
Ketika saya masih sekolah di SMP; saya sangat menyukai acara camping. Pada setiap liburan, walaupun tanpa pengawalan guru atau orang yang lebih senior, saya hampir selalu mengajak teman-teman untuk cmping. Buat saya, camping merupakan salah satu bentuk petualangan yang paling ringan dan paling mudah dilakukan. Saya memang menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat petualangan. Karena itu, ketika saya telah memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA/SLTA) saya mulai mencari tantangan baru. Saat itu saya bersekolah di Salatiga, dimana gunung Merbabu dan Merapi terlihat jelas dari tengah kota. Dari sana saya menemukan tantangan yang cukup menarik. Mendaki gunung. Karena itu, saya melibatkan diri pada kelompok pendaki yang bernama Merbabu Mountaineer Club.
Pada suatu saat, ada empat orang yang berencana untuk mendaki gunung Merapi. Tetapi pada saat terakhir, pimpinan pendakian jatuh sakit. Padahal, segala kelengkapan telah dipersiapkan, termasuk ijin pendakian (saat itu tahun 1969 dimana untuk melakukan pendakianpun harus mendapat ijin dari kepolisian dan Kodim). Karena dua orang diantara mereka adalah kawan dekat saya, maka mereka meminta saya untuk menggantikan pimpinan pendakian yang sakit. Mereka meminta saya memimpin pendakian, karena ketiga orang yang nekat ingin mendaki tersebut sama sekali belum mempunyai pengalaman mendaki. Karena itu, mereka meminta saya untuk memimpin, karena saya mereka pandang telah memiliki pengalaman. Padahal saya sama sekali tidak mempunyai pengalaman mendaki Merapi. Tetapi karena permintaan mereka merupakan tantangan yang menarik buat saya, maka saya menerimanya, walaupun karena waktu yang sudah sangat pendek, kurang dua hari lagi, saya sama sekali tidak melakukan persiapan apapun juga.
Pendakian kami lakukan melalui jalur utara, yang merupakan jalur tersulit, paling tidak dibandingkan dengan jalur selatan. Selama pendakian, sampai di bekas pos pengamatan Merapi, semuanya berjalan lancar.  Kami meninggalkan semua pakaian dan perbekalan kami di bekas pos pemantauan Merapi, karena kami berencana untuk tidur disana. Setelah meletakkan barang-barang bawaan yang tidak kami butuhkan dan beristirahat sebentar, kami segera meninggalkan bekas pos tersebut. Setiba kami ditempat yang oleh para pendaki dari Salatiga disebut sebagai "Pasar Bubrah", saya mulai tertegun melihat medannya. Dari sana hingga puncak harus mendaki gunung berbatu dengan kemiringan lebih dari 80 derajad. Sebetulnya saja merasa cemas, tetapi karena saya pimpinan pendakian, maka perasaan tersebut harus saya sembunyikan. Untuk mencoba menggagalkan upaya mencapai puncak (kawah), saya bertanya kepada mereka, apakah dengan medan yang seperti itu mereka tetap akan melanjutkan pendakian? Celakanya, mereka bersamaan menjawab "ya" dengan penuh semangat. Karena itu, setakut apapun, saya harus tetap mendaki sampai ke puncak. Karena diliputi perasaan takut, saya tak menyadari bahwa saya harus menentukan arah kembalinya nanti, walaupun kompas selalu melekat dipergelangan tangan saya. Padahal, saat itu puncak Merapi hampir selalu ditutupi kabut tebal, karena saat itu memang musim hujan.
Pendakian dari jalur utara, walaupun sebetulnya saya juga salah mengambil jalan, sangat sulit. Kami harus mendaki lereng gunung yang terjal dan berbatuan. Batu-batu tersebut adalah batu-batu bekas lahar yang telah mendingin dan membatu. Karenanya, banyak batu yang tidak tertanam dengan kokoh, hingga banyak yang berjatuhan ketika ditarik (untuk membantu mengangkat tubuh) atau diinjak. Karena itu kami tidak bisa mendaki secara berurutan, tetapi harus menyebar untuk menghindari batu-batu besar yang sering berguguran akibat digunakan untuk memanjat, sementara batu tidak melekat erat pada sisi gunung. Akibatnya, sesampainya di puncak saya mengalami kelelahan yang luar biasa, dan saking lelahnya (sebetulnya kelelahan lebih banyak disebabkan oleh kecemasan), setelah kami menuruni bibir kawah, dimana dibagian bawah terdapat tempat landai, saya dan seorang anggota pendakian, seorang mahasiswa Satyawacana, langsung duduk di bawah. Untunglah tidak lama kemudian saya sadar akan bahaya gas beracun yang keluar dari kawah. Karena itu saya segera berdiri, tetapi badan telah terlanjur bertambah lemas.
Tak terlalu lama ditepi kawah, kami kembali karena kami merencanakan menginap di bekas pos pengawasan gunung. Tetapi setelah naik keatas bibir kawah, pada bagian puncak, kami mulai menyadari bahwa kami tidak tahu arah sama sekali akibat kabut yang sangat tebal. Kami tidak dapat melihat sama sekali arah kembali ke bangunan bekas pos pengawasan, padahal semua barang dan bekal kami tinggal disana. Sementara itu, karena pada saat mendaki saya tidak menentukan arah bangunan bekas pos pengawasan dimana kami meninggalkan semua barang dan perbekalan kami, kami sama sekali tidak tahu harus pulang kearah mana. Akhirnya, kami hanya menggunakan insting kami.
Setelah cukup lama menuruni bukit batu terjal yang harus dilakukan sangat berhati-hati karena banyak batu-batu besar yang tidak kuat diinjak dan langsung bergelindingan, kami mulai merasa kesasar. Ketika mendaki, kami sama sekali tidak melihat jurang, tetapi saat itu kami berada dibawah jurang. Kami kebingungan. Akhirnya saya menentukan kami harus berbalik arah, karena saya perkirakan jurang tersebut adalah jurang yang terbentuk oleh aliran lava yang menuju ke Magelang atau Muntilan. Saya mengajak teman-teman untuk mempercepat perjalanan tetapi tetap menjaga kehati-hatian karena sangat sulitnya medan. Saat itu yang paling kami takutkan adalah turunnya hujan, karena kalau saja hujan turun, jalan menjadi sangat licin, dan kami membayangkan kemungkinan hujan batu akibat banyaknya batu yang longsor. Hal itu sangat mungkin, karena banyak batu-batu besar yang hanya menempel di tepi jurang, sama sekali tidak melekat, hingga kalau di goyang langsung berjatuhan.
Karena telah mulai merasa putus asa akibat tidak tidak tahu arah tujuan, bahkan sudah kesasar, sementara kabut sangat tebal, dimana jarak pandang tidak lebih dari dua atau tiga meter, ditambah dengan kelelahan yang sangat, salah seorang kawan saya yang sebetulnya paling senior, karena dia seorang mahasiswa, mulai merasa putus asa. Dia tidak mau jalan dan menyatakan minta ditinggal saja. Menurutnya, apapun usahanya percuma, karena sebentar lagi pasti akan turun hujan, sementara kita tidak tahu sedang berada dimana, kecuali dibawah jurang terjal yang tinggi.
Merasa sebagai pimpinan pendakian yang harus bertanggungjawab atas keselamatan semua anggota, saya minta pada kawan-kawan yang lain untuk beristirahat dahulu sambil mengamati medan, siapa tahu ada jeda kabut, sehingga bisa punya sedikit kesempatan untuk mengamati arah. Sementara mereka berusaha mengamati medan sambil duduk, saya berusaha membujuk kawan saya dan menyemangatinya agar mau berusaha sampai akhir mencari jalan pulang. Akhirnya saya berhasil membujuknya, dan kami berjalan lagi.
Tetap perjalanan tidak semakin jelas arahnya, bahkan terasa semakin tidak jelas, karena tiba-tiba saja kami berada ditepi longsoran pasir, sementara ketika mendaki jalur pasir tersebut sama sekali tidak ada. Untuk tetap menyemangati diri saya sendiri, saya selalu berfikir untuk melepaskan diri dari pencarian bekas bangunan pemantauan gunung Merapi. Saya berfikir bagaimana caranya mencapai hutan, karena saya yakin kalau sampai hutan saya pasti selamat, karena saya merasa cukup terlatih dan memiliki kemampuan survivel di hutan.  Dalam pikiran saya, kalau sampai di hutan, saya akan selamat dan bisa menemukan perkampungan tertinggi di lereng Merapi.
Mungkin akibat kelelahan yang sangat ditambah mulai dihantui oleh rasa putus asa disamping harapan menemukan hutan, saya mulai mengalami halusinasi. Saat itu saya merasa melihat ada hutan didepan kami, walaupun jaraknya jauh. Karena merasa yakin melihat hutan, saya berteriak-teriak kegirangan. Sementara itu, semua kawan-kawan saya tidak melihat apa-apa, apalagi saat itu sedang diselimuti kabut sangat tebal yang tak memungkinkan menembus pandang lebih dari dua atau tiga meter. Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa saya melihat hutan, bahkan kemudian saya melihat kubah masjid. Ini berarti di depan ada perkampungan. Di pedesaan, bangunan tertinggi adalah mesjid, karena itu, dalam pikiran saya, yang pertama kali saya lihat adalah kubah masjidnya, sementara bangunan masjid dan bangunan-bangunan lain di perkampungan tersebut tidak kelihatan karena tertutup hutan. Semua kawan-kawan saya berusaha meyakinkan saya bahwa tak ada hutan yang kelihatan dari sana. Jangankan hutan, apa yang ada didepan dalam jarak lebih dari tiga meter saja sudah tidak terlihat. Tetapi saya tetap bersikeras meyakini bahwa disana ada hutan. Untung saya bisa dicegah untuk melanjutkan perjalanan kearah hutan yang saya lihat tersebut, karena ternyata arahnya berlawanan dengan arah yang menuju ke bekas bangunan pemantauan gunung Merapi.
Karena teman-teman meminta untuk menunda melanjutkan perjalanan, maka saya duduk sambil mengamati keadaan sekitar, siapa tahu ada jeda kabut atau tanda-tanda yang memberi petunjuk arah. Ketika sedang mengamati keadaan sekitar, saya merasa melihat ditempat yang agak jauh ada alat besar, yang menurut pikiran saya saat itu kemungkinan itu alat untuk mengamati gunung. Dalam pikiran saya, kalau ada alat seperti itu, pastilah ada penjaganya. Karena itu, saya berteriak-teriak kepada kawan-kawan saya, bahwa saya melihat alat pengamatan gunung. Mereka semua kebingungan, karena tak satupun diantara mereka yang melihat alat apapun. Setelah berusaha mengamati lebih seksama lagi, saya melihat alat tersebut berubah menjadi robot yang dapat bergerak. Celakanya, robot tersebut bergerak kearah kami, sehingga saya berteriak-teriak ketakutan sambil memperingatkan kawan saya untuk menghindar dari robot raksasa tersebut. Untungnya, setelah semakin dekat, robot tersebut segera hilang.
Sampai disini, saya mualai sadar kalau saya mulai mengalami halusinasi. Sementara itu, dari raut muka dan cara pandang mereka, tampaknya kawan-kawan saya melihat saya sudah mulai gila. Untuk meyakinkan mereka bahwa saya tidak gila, saya mengumpulkan mereka dan mereka saya ajak berdoa. Karena agama kami berbeda-beda, diantara empat orang tersebut ada yang beragama Katholik, ada yang Kristen Protestan, ada yang Islam, dan ada saya yang sama sekali tidak beragama. Karena itu saya putuskan untuk berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi doa dimulai pada waktu yang bersamaan (tetapi waktu mengakhirinya tentu saja berbeda-beda). Saat berdoa tersebut, saya sama sekali tidak ikut berdoa, karena selain saya tidak tahu bagaimana caranya berdoa, saya juga tidak percaya dengan doa. Saya mengajak mereka berdoa hanya untuk membuktikan bahwa saya belum gila. Setelah semua selesai berdoa, tiba-tiba kabut tersingkap dan suasana menjadi terang benderang. Saat itu kami bisa melihat bekas bangunan pos pemantauan gunung Merapi. Segera saya melihat kompas dan mencatat derajad arah bangunan bekas pos pemantauan. Walaupun tidak lama kemudian kabut menebal kembali, tetapi kami sudah dapat menentukan arah perjalanan kami yang pasti, karena saya telah bisa menggunakan kompas sebagai penunjuk arah. Berkat tersingkapnya kabut beberapa menit tersebut kami semua dapat selamat.
Sepulangnya dari pendakian saya mulai merenungkan peristiwa yang saya alami, khususnya peristiwa doa. Saya benar-benar bingung, bagaimana setelah kami selesai berdoa, tiba-tiba kabut tebal tersingkap dan udara menjadi begitu cerah terang benderang. Saat ini, saya memperkirakan peristiwa tersebut sebagai panggilan Tuhan. Peristiwa tersebut merupakan panggilan Tuhan yang pertama terhadap saya. tetapi saat itu saya tidak memandangnya demikian. Saya memandang peristiwa tersebut sebagai sebuah kebetulan. Karena itu, saya masih tetap belum menanggapi panggilan sama sekali.
Semasa kuliah, saya pernah membaca sebuah buku, saya lupa apakah itu buku pelajaran SMA atau SMP atau mungkin hanya buku bacaan tambahan, yang berjudul: Alama Semesta. Dalam buku tersebut tidak hanya dijelaskan mengenai teori proses terjadinya alam semesta, tetapi juga dijelaskan mengenai gambaran alam semesta saat ini, dimana ternyata di alam semesta ada milyaran matahari yang dikelilingi oleh planet-planetnya. Sementara itu, seluruh alam semesta bergerak bersamaan dalam ruang kosong yang maha luas yang tak tergambarkan akal manusia, sehingga tidak dapat dibayangkan tujuannya. Diantara bermilyar-milyar benda angkasa tersebut ada satu planet kecil yang namanya bumi, yang kita huni, yang bergerak secara teratur bersama milyaran bintang dan planet dalam ruang kosong yang maha-maha luas. Keteraturan gerak tersebut memungkinkan bumi yang kita huni aman, karena benda-benda angkasa yang jumlahnya milyaran tersebut tidak saling berbenturan.
Saya membayangkan, diantara bermilyar-milyar planet di angkasa tersebut, selain bumi, tentu masih banyak planet yang bisa dihuni. Kalau saya andaikan jumlah planet di ruang angkasa ada 10 milyar (saya yakin sampai dunia kiamat, manusia tak akan mampu menghitungnya), maka jika yang seperjutanya bisa dan memang dihuni oleh mahluk semacam manusia, maka ada paling tidak 10.000 (sepuluh ribu) planet yang berpenghuni. Suatu jumlah yang menakjubkan.
Sebetulnya ketika duduk dibangku SMP dan SMA saya ingat saya juga pernah mendapat pelajaran serupa. Tetapi karena saat SMP dan SMA saya tergolong anak bandel, pelajaran alam semesta (dan banyak pelajaran lain) tak pernah saya perhatikan sebcara sungguh-sungguh, bahkan mungkin tidak saya perhatikan sama sekali. Karena itu, dari gambaran ruang angkasa yang saya peroleh dari bacaan yang kebetulan saya temukan tersebut, saya betul-betul mengalami ketakjuban yang luar biasa. Akibatnya, gambaran alam semesta yang demikian menakjubkan begitu menghantui pikiran saya. Berhari-hari saya merenungkannya, yang pada akhirnya sampai pada pertanyaan, kalau demikian, apakah semua itu terjadi secara kebetulan, atau apakah ada kekuatan yang membentuk dan mengaturnya? Dalam benak pikiran saya, walaupun saya memang sama sekali tak memahami alam semesta secara ilmiah, bagi saya, tidak mungkin alam semesta yang kebesarannya tak terhingga tersebut terjadi secara kebetulan. Pasti ada kekuatan yang luar biasa besarnya, yang tak terhingga kekuatannya, yang menciptakan dan mengatunya. Nah itulah “TUHAN”. Hari itu, untuk pertama kali dalam hidup saya, saya menemukan TUHAN, suatu kekuatan yang tak terhingga, yang menciptakan dan mengatur gerak alam semesta yang juga tak terhingga. Karena itu, sang pencipta dan pengatur yang kemudian saya sebut sebagai TUHAN tersebut pastilah jauh lebih luar biasa, jauh lebih menakjubkan lagi kekuatan dan kuasanya.
Karena dalam bayangan saya alam semesta begitu luas luar biasa hingga hampir-hampir tanpa batas, paling tidak batas yang bisa dibayangkan manusia, dan berdasarkan perkiraan saya ada sekian ribu planet selain bumi yang dihuni oleh mahluk, yang sebagian pasti sejenis manusia, maka manusia bumi menjadi sedemikian kecil, sedemikian tidak berarti di mata Tuhan. Karena itu, dalam konsep penciptaan alam semesta dan manusia, saya memandang setelah Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia yang hidup didalamnya, Dia meninggalkan atau membiarkan begitu saja kehidupan manusia. Setelah menciptakan manusia, Tuhan membiarkan manusia berjuang sendiri untuk menguasai alam dan berusaha sendiri untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep ini dikuatkan dengan nash dalam kitab Kejadian (Kejadian1: 28): Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, bverkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung diudara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Karena itu, buat saya, walaupun saya sudah percaya akan adanya Tuhan, doa merupakan suatu kesia-siaan, suatu ketidak mungkinan. Sampai disini, saya mulai mempercayai Tuhan, tetapi saya tidak percaya dengan doa, dalam arti kita, manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhan yang sedemikian Maha Besarnya dan Maha Dahsyatnya melalui doa. Kita, manusia, tak mungkin meminta bantuan pada Tuhan melalui doa. Bahkan Tuhan telah memerintahkan kita untuk berjuang dan berkuasa atas bumi, bukan minta diberi kuasa.
Ketika anak kedua saya kelas 4 SD; suatu hari dia mengalami sakit, muntah-muntah dan sekujur tubuhnya lemas. Segera saya bawa kesebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Menurut dokter, anak saya mengalami sakit ginjal dan harus mondok di rumah sakit. Kami terpaksa mengambil kamar kelas I agar saya dan isteri saya bisa menunggu tetapi tetap dapat beristirahat (tersedia tempat tidur untuk penunggu), walaupun kalau tidur harus bergantian. Dua hari mondok di rumah saki dan mendapatkan obat-obatan dalam jumlah banyak, kondisinya tidak semakin membaik, malah semakin memburuk. Pada sore harinya, anak saya mengatakan bahwa dia tidak dapat melihat apa-apa, dan pada malam harinya mulai tidak sadar. Kami berusaha menghubungi doketer yang menanganinya, tetapi tidak bisa. Akhirnya yang dating dokter jaga, yang menanyai saya, apa agama saya. Ketika ditanya soal agama, saya menjawab dan balik bertanya: “Kristen Protestan,” jawab saya. “Kok Tanya agama, memangnya ada apa?” Dokter tersebut menjawab, bahwa secara medis dia menyerah. Tetapi dia bersedia untuk memanggilkan pendeta. Mendengar jawabannya, saya menjadi marah. Saya bilang, kalau saya cari pendeta tidak ke rumah saki, tapi ke gereja. Saya datang ke rumah sakit bukan untuk mencari pendeta tetapi untuk mencari dokter. Sekali lagi, dia mengatakan, bahwa secara medis dia telah menyerah. Karena jengkel, saya jawab, kalau saya butuh pendeta nanti saya panggil sendiri.
Karena terus tidak sadar dan sebentar-sebentar harus di pompa jantung, saya sangat bersyukur kepada perawat yang telah merawat anak saya dengan sangat baik, karena para perawat selalu sigap untuk memberi nafas buatan dan memompa jantung, ketika anak saya (sebentar-sebentar) hampir hilang detak jantungnya, yang bisa saya lihat dari alat yang dipasang padanya. Karena dokter telah menyerah, isteri saya mengajak saya untuk terus berdoa, karena tinggal pada Tuhan lah kami bisa meminta pertolongan. Suatu pemikiran yang sebetulnya salah, karena seharusnya sejak pertama kami mempercayakan kesembuhan anak saya sepenuhnya pada Tuhan.
Semalaman kami berdua berdoa terus menerus. Pagi harinya, anak saya mulai sadar, tetapi matanya masih belum bisa melihat. Sesiang itu, kami berdua terus berdoa, dan akhirnya, sore harinya dia mengatakan telah bisa melihat cahaya. Kami merasa semua itu merupakan mukjizat yang luar biasa. Tetapi karena anak saya masih belum bisa melihat, kecuali hanya cahaya, malam itu, kami berdua (saya dan isteri saya) terus berdoa tanpa henti-hentinya. Pagi harinya kami merasakan mukjizat luar biasa kembali, karena pada pagi itu anak saya telah bisa melihat kami berdua yang sedang berdoa disisi tempat tidurnya. Berarti anak saya sudah bisa melihat, walaupun belum sempurna.
Karena setelah beberapa hari menginap di rumah sakit tersebut kondisi anak saya tidak kunjung membaik, maka kami putuskan untuk membawanya pulang. Semula dokter melarang. Tetapi kami nekat pulang, karena toh kondisinya tetap tidak kunjung membaik. Akhirnya setelah menandatangani pernyataan pulang paksa, kami dibolehkan pulang dengan diberi resep yang harus ditebus di rumah sakit yang bersangkutan, yang jumlah obatnya sangat banyak.
Selama dirumah, kondisi kesehatan anak saya terus menurun. Akhirnya, disuatu siang, setelah isteri saya selesai berdoa di tepi ranjang anak saya, dia seperti mendengar suara: “Sungsang.” Peristiwa tersebut langsung diceritakan kepada saya, tetapi saya tidak tahu apa arti suara tersebut. Akhirnya, setelah lama berusaha berfikir isteri saya berteriak, “dokter Sungsang, pa, dokter Sungsang, bawa anak kita ke dokter Sungsang.” Sore itu juga, kami membawa anak saya ke dokter sungsang, yang berpraktek di Kalasan, dengan membawa semua obat yang diberikan pada anak saya beserta semua rekam mediknya. Melihat rekam mediknya, doketer Sungsang memerintahkan untuk membuang semua obat yang diberikan oleh rumah sakit dan memerintahkan untuk tidak memantang apapun (semula rumah sakit memberi banyak pantangan makanan untuk anak saya). Bahkan dia berkata, untung kami cepat dating kepadanya, karena kalau terlambat, anak kami bisa tidak tertolong lagi. Oleh dokter Sungsang, anak saya hanya diberi fitamin, yang katanya untuk membantunya meningkatkan kesehatannya.
Setelah menghentikan obat yang diberikan oleh rumah sakit dan meminum fitamin yang diberikan oleh dokter Sungsang, kondisi kesehatan anak saya berangsur membaik. Kalau kami fikirkan, ini merupakan malpraktek dari doketer rumah sakit tersebut, tetapi kami memutuskan untuk tidak melakukan tuntutan apapun. Yang kami fikirkan saat itu hanya pulihnya kesehatan anak kami, yang memang terus berangsur membaik, hingga sembuh total.
Dari peristiwa ini, saya mulai menyadari kesalahan saya, bahwa ternyata kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan, kita bisa memohon kepada Tuhan, bahkan kita bisa mendengar suara, entah suara apa, tetapi yang kami yakini dating dari Tuhan. Karena itu, mulai saat itu saya percaya bahwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa.

Sebagai orang Jawa, saya terpengaruh oleh budaya saya, bahwa untuk bisa berhubungan dengan Sang Pencipta, Sang Pemilik Hidup (Kang Murbo ing Dumadi), kita harus bersih, harus suci. Hanya orang-orang yang bersih dan sucilah yang doanya didengar oleh Yang Maha Kuasa. Karena itu, timbul pertanyaan dalam pikiran saya, karena yang terus menerus berdoa saya dan isteri saya,  doa siap yang dikabulkan? Mengingat budaya Jawa sebagaimana tersebut diatas, saya yakin doa isteri sayalah yang didengar Tuhan. Saya yakin, doa saya pastilah tidak mungkin dan tidak akan pernah didengar Tuhan. Karena itu, sejak saat itu saya percaya bahwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan untuk mencurahkan seluruh permasalahan kita melalui doa, tetapi saya juga percaya bahwa hanya isteri saya yang doanya didengar oleh Tuhan, sementara doa saya pasti tidak akan didengarNya. Karena itu, kalau memerlukan pertolongan Tuhan, saya meminta isteri saya untuk berdoa, sementara saya tetap tidak pernah berdoa, karena saya masih yakin kalau doa saya akan sia-sia karena tidak mungkin didengar Tuhan. Bahkan anak-anak saya juga tidak percaya dengan doa saya. Hal ini sering terjadi, misalnya ketika anak-anak kami sedang menghadapi ujian, baik ujian kelulusan, ujian kenaikan kelas maupun ujian ulangan umum, setiap malam kami sekeluarga selalu berdoa bersama, khususnya untuk mendoakan anak-anak yang sedang menghadapi ujian. Dalam peristiwa demikian, anak-anak selalu menolak kalau saya usul agar saya yang memimpin doa. Mereka selalu meminta mamanya yang memimpin doa, dengan alasan doa papa tidak manjur.
Lebih kurang tahun 2000 dimana saat itu saya bekerja pada sebuah LSM di Yogyakarta, ada suatu kejadian yang merubah pikiran saya. Pada suatu hari, saya berangkat ke kantor dengan mengendarai satu-satunya sepeda motor yang dimiliki keluarga saya. Hari itu, saya sama sekali tidak memiliki uang, kecuali hanya untuk membeli seliter bensin untuk saya gunakan pulang pergi kekantor hari itu. Dari rumah saya sudah berencana untuk meminjam uang kekantor. Tetapi kalau pagi-pagi dimana masih banyak orang dikantor saya sudah meminjam uang, saya agak tidak enak dengan kawan-kawan di kantor. Larena itu, rencana saya untuk meminjam uang dari bendahara kantor saya tangguhkan hingga nanti sebelum pulang saja, dimana biasanya teman-teman sudah berangkat ke lapangan atau teman-teman lapangan yang tidak mempunyai tugas sudah pulang. Karena siang itu pekerjaan saya telah selesai, dan kebetulan saya juga tidak mempunyai tugas lapangan, tetapi kalau mau meminjam uang masih tidak enak karena ternyata hari itu banyak teman-teman yang tidak bertugas kelapangan tetapi tidak segera pulang-pulang juga, maka keinginan saya untuk meminjam uang saya tangguhkan sampai nanti. Karena saya mengantuk, maka saya putuskan untuk tidur dahulu. Karena di kantor tidak ada tempat tidur, maka saya tidur diatas meja yang banyak tersusun dipojok ruang pertemuan, yang memang selalu ditumpuk ketika tidak digunakan. Agar supaya tidak ada yang melihat kalau saya tidur, maka disisi bangku tempat saya tidur saya tutupi dengan papan tulis (white board) yang memang juga diletakkan di pojok ruangan pertemuan. Kebetulan di kantor ada beberapa papan tulis besar-besar, sehingga bisa menutupi tempat saya tidur dengan rapat. Karena memang sangat mengantuk, saya segera tertidur dengan pulas. Celakanya, ketika terbangun pada sore harinya, semua teman-teman telah pulang, termasuk bendahara kantor. Bahkan semua pintu kantor telah terkunci. Rupanya usaha saya untuk tidur ditempat tersembunyi berhasil, sehingga tidak ada kawan yang tahu kalau saya masih tidur di kantor. Untung ada ruang yang dikunci dari dalam, sehingga bisa saya buka dan saya bisa keluar. Tetapi bersamaan dengan itu, saya juga tidak bisa meminjam uang pada siapapun juga, karena di kantor sudah sama sekali tidak ada orang. Akhirnya saya terpaksa pulang tanpa membawa uang sepeserpun di saku saya. Karena saya lupa membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Ijin Mengemudi (SIM) sepeda motor yang memang tidak saya miliki, sementara bensin di tanki motor saya pas-pasan, maka sebelum berangkat saya terpaksa memberanikan diri menghadap Tuhan dalam doa dengan permohonan agar saya bisa selamat sampai dirumah tanpa halangan suatu apapun.
Dengan berbekal doa yang hampir tidak pernah saya lakukan sebelumnya, saya pulang. Celakanya, dijalan satu arah dekat tikungan, ada razia sepeda motor. Karena dekat tikungan, saya sama sekali tidak sempat melihat adanya polisi yang mencegat sepeda motor. Akibatnya, begitu membelok, saya sudah berada didepan Polisi. Karena yang diperiksa banyak, saya harus antre mendapat giliran diperiksa. Sambil menunggu giliran, saya mulai berfikir dan menjadi semakin yakin bahwa doa saya sama sekali tidak didengar Tuhan. Buktinya walaupun saya sudah berdoa, tetap saja ada razia sepeda motor, sementara saya sama sekali tidak membawa surat-surat kendaraan. Saya juga membayangkan sepedamotor saya akan disita, dan saya terpaksa pulang ke rumah dengan berjalan kaki, padahal jaraknya masih sangat jauh, sekitar 5 kilo meter. Tetapi kemudian saya berikir bahwa saya harus berdoa sekali lagi. Karena itu, sambil menunggu antrean, saya berdoa sekali lagi. Setelah membuka mata, ternyata sudah tiba pada giliran saya untuk diperiksa. Tetapi anehnya, saya lihat polisi didepan saya malah menggeser ke samping, sehingga didepan saya ada lowongan untuk lewat. Tanpa berfikir panjang, saya menjalankan sepeda motor saya pelan-pelan, tetapi tanpa berhenti untuk diperiksa. Anehnya, semua polisi yang ada disitu dan beberapa polisi yang berjaga di bagian depan diam saja ketika saya melewati mereka, seolah-olah mereka tidak melihat saya. Karena itu, saya tetap berjalan terus dengan perlahan-lahan, hingga setelah jauh dari tempat pemeriksaan barulah saya menjalankan sepeda motor saya dengan agak cepat. Akhirnya saya bisa tiba dirumah dengan selamat, dalam arti tidak harus berjalan kaki.
Dengan peristiwa tersebut saya mulai percaya bahwa saya juga bisa berdoa, dalam arti saya mulai percaya bahwa Tuhan juga mendengarkan doa saya. Namun demikian, karena peristiwa tersebut baru sekali terjadi, saya belum yakin betul. Baru setelah kejadian serupa terulang hingga tiga kali, dimana dengan berdoa polisi membiarkan saya berlalu (saya memang pelupa, sehingga seringkali mengendarai kendaraan tanpa membawa surat-surat sama sekali, bahkan beberapa kali mengendarai sepeda motor tanpa helm didepan polisi), barulah saya yakin betul bahwa Tuhan juga mendengarkan doa saya. Sejak saat itu saya bahkan mengumumkan didepan keluarga bahwa sekarang saya sudah bisa berdoa. Sejak itu, anak-anak juga mulai percaya bahwa saya juga bisa berdoa, karena itu mereka mulai bersedia jika dalam doa bersama saya yang memimpin doa. Sejak saat itulah saya sedikit banyak mulai aktif membaca,  mempelajari, dan mempergumulkan Firman Tuhan melalui Kitab Suci.

Kamis

KAWAH CANDRADIMUKA

Hadi Wahono


Kita sering mendengar orang yang sedang mengalami kesulitan atau musibah atau orang yang sedang menghibur temannya yang mengalami kesulitan atau musibah dengan mengatakan bahwa mereka harus bersabar dan ta'bah dalam menghadapi masalah atau musibah, karena semua itu hanya cobaan atau ujian dari Allah. Orang percaya, bahwa Allah menguji dan mencobai kita bukan untuk merusak hidup kita, tetapi untuk mengukur seberapa tingkat keimanan kita dan sekaligus juga sebagai tempaan bagi kita yang kalau kita berhasil mengatasi ujian atau cobaan Allah akan membuat diri kita semakin kuat, semakin beriman dan sebagainya. Pencobaan Allah seperti kawah Candradimuka dalam cerita pewayangan. Kawah Candradimuka adalah kawah yang digunakan untuk menempa para ksatria pilihan para dewa. Kawah Candradimuka merupakan kawah yang panas menggelegak, yang dapat melebur apa saja yang masuk kedalamnya. Karena itu, siapapun yang dimasukkan kedalam kawah Candradimuka, jika bukan orang yang sangat kuat luar biasa akan hancur, tetapi mereka yang kuat, yang mampu bertahan akan menjadi orang yang hebat luar biasa, yang dalam bahasa Jawanya disebut "sakti mandraguna". Kawah Candradimuka merupakan kawah tempat penempaan para ksatria pilihan Tuhan. Gatotkaca, salah satu tokoh pewayangan putra Pandawa, sangat sakti karena ketika masih kecil dia telah dimasukkan kedalam kawah Candradimuka.
Masalahnya, apakah pandangan bahwa setiap kesulitan dan musibah yang kita alami merupakan cobaan atau ujian dari Allah? Dengan kata lain, apakah Allah menguji kita mahluk kepunyaanNya?
Menurut saya pernyataan demikian merupakan wujud dari pandangan yang menganggap Tuhan tidak mahatahu. Tuhan dipandang seperti seorang guru, yang karena tidak mengetahui seberapa jauh pelajaran yang diberikannya telah diserap dan difahami oleh para muridnya, maka diadakanlah ujian. Hanya dengan memberikan ujian, seorang guru bisa mengetahui, seberapa jauh pelajaran yang diberikannya telah difahami oleh murid-muridnya. Apakah Tuhan juga demikian? Menurut saya, jelas tidak. Allah adalah Tuhan yang Mahatahu, yang mengetahui bukan saja apa yang dilakukan oleh mahlukNya, tetapi juga mengetahui apa yang difikirkan dan diangankan oleh setiap mahlukNya. Hal ini juga terdapat didalam Firman Tuhan, yang bisa kita baca dari Yakobus 1: 13 - 15 yang demikian:


13. Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: "Pencobaan ini datang dari Allah!" Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.
Dari nash dalam Yakobus 1: 13 - 15 tersebut jelas bahwa Tuhan tidak mencobai kita, dan untuk mengetahui seberapa nilai iman kita Tuhan tidak perlu mencobai atau menguji kita selayaknya seorang guru menguji muridnya, karena Tuhan tanpa melakukan ujian telah mengetahui segala hal tentang kita termasuk iman kita. 
Dari bacaan kita atas Ayub 1: 12 tersbut nampak bahwa percobaan yang dialami Ayub merupakan percobaan yang dilakukan oleh iblis, bukan oleh Tuhan. Masalahnya, mengapa Tuhan mengijinkan iblis untuk mencobai Mahluk kepunyaanNya, bahkan mahluk beriman yang dikasihiNya? Saya yakin, bagi Yuhan, pencobaan demikian penting bagi mahluk yang dikasihiNya, karena cobaan demikian seperti kawah Candradimuka yang akan membuat kita semakin sakti jika kita mampu keluar dengan selamat. Dengan kata lain, cobaan demikian adalah sarana penempaan iman kita, seperti sekolah yang  menempa kita dalam masalah pengetahuan, yang kalau kita bisa memahaminya dengan baik, kita akan lulus dan naik kelas, dan kita menjadi pemenangnya. Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi (1 Timotius 6: 12).

14. Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.
15. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.

Dalam hal ini, Yakobus berbicara mengenai pencobaan yang berhubungan dengan perbuatan kita. Sebagai contoh, kalau kita melakukan kesalahan, misalnya melakukan tindakan korupsi dan kemudian ketahuan yang mengakibatkan kita masuk penjara, maka keadaan demikian adalah akibat perbuatan kita sendiri yang didorong oleh keinginan kita sendiri, bukan cobaan yang datang dari Tuhan. Menurut firman Tuhan sendiri sebagaimana kesaksian rasul Yakobus tersebut, dalam keadaan demikian, yang mencobai kita adalah keinginan kita sendiri, keinginan yang selalu muncul akibat kelemahan kita. Dalam hal demikian, iblis juga bisa berperan, yang ketika mengetahui mulai goyahnya pikiran kita, dia mendorong dengan memberi iming-iming yang palsu, yang menunjukkan betapa enaknya jalan sesat yang dia harap akan kita lewati atau ikuti.
Cobaan hidup dalam bentuknya yang kedua adalah suatu peristiwa yang berada diluar kontrol kita sama sekali, tetapi yang mengakibatkan kesulitan dan penderitaan yang luar biasa pada kehidupan kita. Dalam hal demikian, siapakah yang berinisiatif mencobai kita? Apakah Tuhan sendiri?
Kalau kita membaca dari Ayub 1: 12 dalam peristiwa demikian, yang mencobai kita adalah iblis. Untuk mudahnya maka ada baiknya nash tersebut kami kutip disini.


Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Kemudian pergilah Iblis dari hadapan TUHAN. 

Rabu

BERBAGI ITU INDAH


Hadi Wahono


Bacaan: Yohanes 6: 5 - 13
(5) Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?"
(6) Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya.
(7) Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja."
(8) Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya:
(9) Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?
(10) Kata Yesus: "Suruhlah orang-orang itu duduk." Adapun di tempat itu banyak rumput. Maka duduklah orang-orang itu, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya.
(11) Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki.
(12) Dan setelah mereka kenyang Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang."
(13) Maka merekapun mengumpulkannya, dan mengisi dua belas bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai yang lebih setelah orang makan.

Biasanya kita memahami nash dalam Yohanes 6: 5 – 13 sebagai bukti Kebesaran Tuhan dimana Tuhan telah memberi makan lima ribu orang dari sekerat roti dan dua ikan. Tetapi disini saya mencoba melihat secara berbeda. Buat saya, Tuhan memberi makan lima ribu orang bukan merupakan suatu yang luar biasa, sama sekali tidak menunjukkan kebesaran Tuhan, apalagi makanan tersebut berasal dari sekerat roti dan ikan. Bahkan, menurut saya, kalau kita melihat peristiwa tersebut sebagai bukti kebesaran Tuhan, sesungguhnya kita telah mengecilkan Tuhan. Kita lupa, bahwa Tuhan telah memberi makan bukan hanya lima ribu orang, tetapi sudah memberi makan setiap hari kepada lebih dari lima milyar orang. Bahkan Tuhan tidak perlu menggunakan barang yang sudah ada untuk memberi makan kepada lima milyar orang lebih. Tuhan telah memberi makan kita melalui cipta dari bahan yang tak ada. Dari ketiadaan diciptakan menjadi keberadaan. Itulah Tuhan. Yang menjadi masalah lalu, apa maksud Yohanes menceritakan peristiwa Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang?
Saya yakin maksud Yohanes sang penulis bukan untuk membuktikan kebesaran Tuhan, karena saya yakin Yohanes faham betul bahwa makanan yang setiap hari dia dan orang-orang lain makan datangnya dari Tuhan, dia terima karena kasih karunia Tuhan. Menganggap Tuhan memberi makan lima ribu orang akan memperkecil Tuhan, bukan menunjukkan kebesarannya. Saya yakin maksud Yohanes menulis periwtiwa tersebut adalah karena peristiwa tersebut mempunyai nilai pelajaran yang harus kita jalani didalam kehidupan ini.
Didalam kehidupan nyata kita, kita sering mengalami masalah serupa sebagaimana yang diceritakan oleh Yohanes tersebut. Kita seringkali (bahkan hampir selalu) berfikiran dan bertindak seperti para murid ketika dihadapkan pada masalah adanya orang lain yang bernasib malang yang membutuhkan bantuan kita, khususnya bantuan keuangan. Ketika kita berhadapan dengan situasi demikian, kita seringkali, sebagaimana halnya para murid, menjawab, “pada kami hanya ada uang sekian. Mana cukup kalau harus berbagai dengan orang lain. Besok saja kalau saya sudah kaya, sudah berkecukupan, saya akan berbagai dengan orang lain.” Mungkin, kita memang merasa belum berkecukupan, sehingga masih merasa sah kalau kita tidak bersedia berbagi, lha wong kita sendiri masih kekurangan. Seringkali, kita sudah punya rumah, tetapi masih kurang, karena rumah kita tidak besar, kurang mewah, karena itu kita harus dengan keras menabung agar besok setelah sekian tahun kita bisa membeli rumah yang lebih besar yang lebih baik. Karena kita masih membutuhkan banyak uang dan harus menabung, maka kita merasa masih belum berkecukupan. Pasti tidak cukup (untuk membeli rumah yang lebih besar) kalau saat itu kita harus berbagi. Apalagi, orang-orang yang mengalami kesusahan disekitar kita sangat banyak. Lalu, sebagaimana para murid, kita juga akan berkata: “pada kami hanya ada uang sekian, mana cukup kalau saya harus berbagi dengan orang lain.”
Ketika kita telah bisa membeli rumah yang lebih besar dan lebih baik dari hasil tabungan kita yang ternyata sangat berhasil berkat pelajaran menejemen keuangan rumah tangga yang sering diajarkan pada kita, timbul keinginan baru. Mobil kita terasa sudah tua, karena itu perlu diganti dengan yang baru dan lebih baik. Berdasarkan pelajaran menejemen keuangan rumah tangga, kita diajari harus menabung, dan dengan ketat tidak boleh diambil barang seperakpun, kalau bukan untuk keperluan sesuai dengan tujuan kita menabung. Saat itu, ketika kita mengetahui ada orang lain yang sangat membutuhkan bantuan keuangan, kita belum bersedia membantu, karena kita tidak mempunyai kelebihan uang. Tabungan kita, menurut teori menejemen keuangan rumah tangga, tidak boleh diambil, sekalipun tetangga kita hujan air mata darah. Karena kita belum mempunyai kelebihan, maka niat menolong kita harus kita tunda lagi, hingga tujuan tabungan kita, yaitu untuk membeli mobil baru yang lebih baik dari pada yang kita miliki saat ini, telah tercapai. Tetapi, ketika kita telah bisa membeli mobil baru yang lebih baik dari hasil tabungan kita, muncul keinginan baru lagi. Karena mobil kita baru satu, dan yang satu-satunya itu selalu dipakai oleh pasangan kita untuk bekerja, maka kita berfikir, akan lebih baik kalau kita bisa membeli mobil satu lagi, khusus buat kita atau isteri kita bepergian untuk keperluannya sendiri, sehingga tidak perlu berpanas dan hujan naik sepeda motor atau bahkan ojek atau angkot. Akhirnya, kita memutuskan untuk menabung kembali, dan demikian seterusnya.
Kalau kita mau jujur, keinginan kita (bukan kebutuhan kita, harap dibedakan antara keinginan dan kebutuhan) sama sekali tak ada batasnya, tak pernah ada akhirnya. Karena itu, Tuhan mengajari pada kita untuk tidak menunggu bahwa kita harus berkecukupan, yang ukurannya selalu melar, dan tidak berusaha memenuhi keinginan kita dulu untuk membantu dan menolong orang lain. Kalau kita harus merasa berkecukupan dahulu, maka keinginan kita untuk menolong sesame dapat dipastikan, hingga kita memasuki liang lahat, keinginan tersebut tak pernah kesampaian. Yang diajarkan pada kita dari nash tersebut adalah, seberapapun milik kita, berbagilah dengan orang lain yang membutuhkan. Sekalipun hanya mempunyai sekerat roti dan dua ikan, kita tetap harus berbagi. Ketika kita berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, maka mukjizat akan terjadi. Sesuatu yang semula kita perkirakan tidak cukup akan menjadi cukup, sesuatu yang kita perkirakan akan gagal akibat berbagi, malah akan berhasil. Namun demikian, kita harus ingat, bahwa yang dijanjikan Tuhan adalah memenuhi kebutuhan kita, bukannya keinginan kita, karena kebutuhan ada batasnya, sementara keinginan tanpa batas. Keserakahan kita membuat batas keinginan menjadi tidak mungkin. Berbagi itu memang indah, seindah janji Tuhan.  


Senin

JODOH: ditangan Siapa?


Hadi Wahono


Kita sering mendengar pernyataan orang yang bercerai, yang beralasan bahwa perceraian mereka karena mereka tidak berjodoh, mungkin ini sudah kehendak yang Diatas, yang artinya kehendak Tuhan. Atau pernyataan, dia bukan jodoh saya, karena itu kami bercerai, dan sebagainya, seolah-olah setiap orang telah ada jodohnya masing-masing. Pernyataan tentang jodoh yang hampir selalu kita dengar adalah, bahwa jodoh ditangan Tuhan.
Orang Kristen sering mendasarkan pernyataan demikian dari potongan Firman Tuhan yang terdapat dalam Matius 19: 6 yang berbunyi demikian: Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Potongan firman ini seolah-olah menyatakan bahwa isteri atau suami kita adalah jodoh kita yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Kalau kita hanya membaca potongan ayat 6 tersebut memang bisa (walaupun bisa juga tidak) diartikan demikian. Tetapi kalau kita membaca ayat 6 tersebut selengkapnya, atau lebih baik lagi kalau kita membaca dari ayat 4 nya, maka akan tampak makna kalimat tersebut yang sesungguhnya. Untuk jelasnya, pasal 19 ayat 4 - 6 tersebut kami kutip disini:
4. Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
5. Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
6. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
Dari ketiga ayat tersebut nampak jelas, bahwa Tuhan menciptakan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan (bukan si A berjodoh dengan si B). Kemudian, laki-laki bersatu dengan isterinya, setelah dia meninggalkan ayah dan ibunya. Sebelumnya mereka belum bersatu, dan belum dipersatukan. Karena mereka bersatu, mereka menjadi satu daging. Menjadinya satu daging adalah karena kehendak mereka untuk bersatu, dengan meninggalkan ayah dan ibunya. Karena itu, mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Artinya, sebelumnya mereka dua, baru ketika mereka bersatu, mereka menjadi satu daging. Ketika mereka telah menjadi satu, dan diersatukan oleh Tuhan, maka tidak boleh lagi diceraikan oleh manusia.
Kalau sepasang laki-laki dan perempuan sebelum pernikahan sudah dipersatukan Tuhan, maka upacara pemberkatan nikah menjadi tidak ada gunanya, toh mereka sudah dipersatukan Tuhan, lalu, apa hak pendeta menikahkan mereka? Apakah pendeta tidak tahu bahwa mereka telah dipersatukan Tuhan? Kalau tahu, mengapa mereka melakukan upacara yang sia-sia? Kalau sebelum pernikahan laki-laki dan perempuan telah dipersatukan Tuhan, yang berarti mereka telah menjadi satu daging dan tidak boleh diceraikan manusia, maka sebelum dilakukannya upacara pernikahan, kalau terjadi hubungan seksual diantara mereka, maka berarti tidak ada perjinahan, karena mereka telah dipersatukan Tuhan, yang berarti telah menjadi satu daging.
Kalau seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan upacara pernikahan telah dipersatukan Tuhan, maka tidak lagi diperlukan pernyataan: saya menerima si A sebagai isteri/suami saya, baik dalam suka maupun duka. Buat apa kita harus membuat pernyataan demikian? Kalau memang sudah dipersatukan Tuhan apakah kita bisa menolaknya? Apakah kita tidak dengan sendirinya harus mau menerima (tidak secara suka rela, tetapi dengan paksaan, karena sudah kehendak Tuhan) si A sebagai isteri atau suami kita baik dalam suka maupun duka?
Dari alasan sebagaimana diungkapkan diatas, maka pernyataan bahwa jodoh ditangan Tuhan adalah ungkapan yang tidak benar, yang hanya ingin lari dari tanggung jawab ketika kita mengalami masalah perceraian dengan isteri kita, karena bisa digunakan sebagai alasan: karena bukan jodoh saya. Dengan ungkapan jodoh ditangan Tuhan, maka kalau terjadi perceraian sebagai akibat (hanya alasan) bahwa suami atau isteri kita bukan jodoh kita, sesungguhnya kita telah menjadikan Tuhan sebagai tong sampah, tempat membuang segala kesalahan kita.
Lalu, siapa yang menentukan jodoh kita? Atas pertanyaan ini, jawaban saya adalah, kita sendiri. Kitalah yang memilih pasangan hidup kita. Kita yang menentukan, apakah kita bersedia menerima pasangan kita sebagai pasangan hidup kita baik dalam keadaan suka maupun duka. Karena kita sendiri yang memilih dan menentukan pilihan jodoh kita, maka kita harus membuat pernyataan didepan altar, bahwa kita bersedia dengan kesungguhan hati untuk menerima si A sebagai pasangan kita baik dalam suka maupun duka.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan bunyi potongan Matius 19 ayat 6 yang menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia? Kapan Allah mempersatukan kita dengan pasangan kita? Buat saya, jawabannya adalah bahwa Allah mempersatukan kita dengan pasangan kita ketika pernikahan kita diberkati oleh pendeta didepan altar, dimana kita berjanji akan menerima pasangan kita sebagai isteri atau suami baik dalam suka maupun duka. Saat itulah kita dipersatukan Tuhan, karena itu, setelah peristiwa pemberkatan tersebut, kita sudah tidak boleh lagi menceraikan pasangan kita. Itulah makna firman: "Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Karena itu, kalau kita mengalami permasalahan dengan pasangan kita, maka kita sendirilah yang bersalah. Kita sendirilah yang bertanggung jawab. Kita tidak bisa melemparkan kesalahan pada Tuhan, dengan menyatakan itu sudah kehendak yang diatas, karena dia bukan jodoh saya.