Pages - Menu

Rabu

BERBAGI ITU INDAH


Hadi Wahono


Bacaan: Yohanes 6: 5 - 13
(5) Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?"
(6) Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya.
(7) Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja."
(8) Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya:
(9) Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?
(10) Kata Yesus: "Suruhlah orang-orang itu duduk." Adapun di tempat itu banyak rumput. Maka duduklah orang-orang itu, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya.
(11) Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki.
(12) Dan setelah mereka kenyang Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang."
(13) Maka merekapun mengumpulkannya, dan mengisi dua belas bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai yang lebih setelah orang makan.

Biasanya kita memahami nash dalam Yohanes 6: 5 – 13 sebagai bukti Kebesaran Tuhan dimana Tuhan telah memberi makan lima ribu orang dari sekerat roti dan dua ikan. Tetapi disini saya mencoba melihat secara berbeda. Buat saya, Tuhan memberi makan lima ribu orang bukan merupakan suatu yang luar biasa, sama sekali tidak menunjukkan kebesaran Tuhan, apalagi makanan tersebut berasal dari sekerat roti dan ikan. Bahkan, menurut saya, kalau kita melihat peristiwa tersebut sebagai bukti kebesaran Tuhan, sesungguhnya kita telah mengecilkan Tuhan. Kita lupa, bahwa Tuhan telah memberi makan bukan hanya lima ribu orang, tetapi sudah memberi makan setiap hari kepada lebih dari lima milyar orang. Bahkan Tuhan tidak perlu menggunakan barang yang sudah ada untuk memberi makan kepada lima milyar orang lebih. Tuhan telah memberi makan kita melalui cipta dari bahan yang tak ada. Dari ketiadaan diciptakan menjadi keberadaan. Itulah Tuhan. Yang menjadi masalah lalu, apa maksud Yohanes menceritakan peristiwa Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang?
Saya yakin maksud Yohanes sang penulis bukan untuk membuktikan kebesaran Tuhan, karena saya yakin Yohanes faham betul bahwa makanan yang setiap hari dia dan orang-orang lain makan datangnya dari Tuhan, dia terima karena kasih karunia Tuhan. Menganggap Tuhan memberi makan lima ribu orang akan memperkecil Tuhan, bukan menunjukkan kebesarannya. Saya yakin maksud Yohanes menulis periwtiwa tersebut adalah karena peristiwa tersebut mempunyai nilai pelajaran yang harus kita jalani didalam kehidupan ini.
Didalam kehidupan nyata kita, kita sering mengalami masalah serupa sebagaimana yang diceritakan oleh Yohanes tersebut. Kita seringkali (bahkan hampir selalu) berfikiran dan bertindak seperti para murid ketika dihadapkan pada masalah adanya orang lain yang bernasib malang yang membutuhkan bantuan kita, khususnya bantuan keuangan. Ketika kita berhadapan dengan situasi demikian, kita seringkali, sebagaimana halnya para murid, menjawab, “pada kami hanya ada uang sekian. Mana cukup kalau harus berbagai dengan orang lain. Besok saja kalau saya sudah kaya, sudah berkecukupan, saya akan berbagai dengan orang lain.” Mungkin, kita memang merasa belum berkecukupan, sehingga masih merasa sah kalau kita tidak bersedia berbagi, lha wong kita sendiri masih kekurangan. Seringkali, kita sudah punya rumah, tetapi masih kurang, karena rumah kita tidak besar, kurang mewah, karena itu kita harus dengan keras menabung agar besok setelah sekian tahun kita bisa membeli rumah yang lebih besar yang lebih baik. Karena kita masih membutuhkan banyak uang dan harus menabung, maka kita merasa masih belum berkecukupan. Pasti tidak cukup (untuk membeli rumah yang lebih besar) kalau saat itu kita harus berbagi. Apalagi, orang-orang yang mengalami kesusahan disekitar kita sangat banyak. Lalu, sebagaimana para murid, kita juga akan berkata: “pada kami hanya ada uang sekian, mana cukup kalau saya harus berbagi dengan orang lain.”
Ketika kita telah bisa membeli rumah yang lebih besar dan lebih baik dari hasil tabungan kita yang ternyata sangat berhasil berkat pelajaran menejemen keuangan rumah tangga yang sering diajarkan pada kita, timbul keinginan baru. Mobil kita terasa sudah tua, karena itu perlu diganti dengan yang baru dan lebih baik. Berdasarkan pelajaran menejemen keuangan rumah tangga, kita diajari harus menabung, dan dengan ketat tidak boleh diambil barang seperakpun, kalau bukan untuk keperluan sesuai dengan tujuan kita menabung. Saat itu, ketika kita mengetahui ada orang lain yang sangat membutuhkan bantuan keuangan, kita belum bersedia membantu, karena kita tidak mempunyai kelebihan uang. Tabungan kita, menurut teori menejemen keuangan rumah tangga, tidak boleh diambil, sekalipun tetangga kita hujan air mata darah. Karena kita belum mempunyai kelebihan, maka niat menolong kita harus kita tunda lagi, hingga tujuan tabungan kita, yaitu untuk membeli mobil baru yang lebih baik dari pada yang kita miliki saat ini, telah tercapai. Tetapi, ketika kita telah bisa membeli mobil baru yang lebih baik dari hasil tabungan kita, muncul keinginan baru lagi. Karena mobil kita baru satu, dan yang satu-satunya itu selalu dipakai oleh pasangan kita untuk bekerja, maka kita berfikir, akan lebih baik kalau kita bisa membeli mobil satu lagi, khusus buat kita atau isteri kita bepergian untuk keperluannya sendiri, sehingga tidak perlu berpanas dan hujan naik sepeda motor atau bahkan ojek atau angkot. Akhirnya, kita memutuskan untuk menabung kembali, dan demikian seterusnya.
Kalau kita mau jujur, keinginan kita (bukan kebutuhan kita, harap dibedakan antara keinginan dan kebutuhan) sama sekali tak ada batasnya, tak pernah ada akhirnya. Karena itu, Tuhan mengajari pada kita untuk tidak menunggu bahwa kita harus berkecukupan, yang ukurannya selalu melar, dan tidak berusaha memenuhi keinginan kita dulu untuk membantu dan menolong orang lain. Kalau kita harus merasa berkecukupan dahulu, maka keinginan kita untuk menolong sesame dapat dipastikan, hingga kita memasuki liang lahat, keinginan tersebut tak pernah kesampaian. Yang diajarkan pada kita dari nash tersebut adalah, seberapapun milik kita, berbagilah dengan orang lain yang membutuhkan. Sekalipun hanya mempunyai sekerat roti dan dua ikan, kita tetap harus berbagi. Ketika kita berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, maka mukjizat akan terjadi. Sesuatu yang semula kita perkirakan tidak cukup akan menjadi cukup, sesuatu yang kita perkirakan akan gagal akibat berbagi, malah akan berhasil. Namun demikian, kita harus ingat, bahwa yang dijanjikan Tuhan adalah memenuhi kebutuhan kita, bukannya keinginan kita, karena kebutuhan ada batasnya, sementara keinginan tanpa batas. Keserakahan kita membuat batas keinginan menjadi tidak mungkin. Berbagi itu memang indah, seindah janji Tuhan.  


Tidak ada komentar: