Hadi Wahono
(5) Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa
orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada
Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat
makan?"
(6) Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai
dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya.
(7) Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti
seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun
masing-masing mendapat sepotong kecil saja."
(8) Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu
Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya:
(9) Di sini ada seorang anak, yang
mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang
sebanyak ini?
(10) Kata Yesus: "Suruhlah
orang-orang itu duduk." Adapun di tempat itu banyak rumput. Maka duduklah
orang-orang itu, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya.
(11) Lalu Yesus mengambil roti itu,
mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ,
demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki.
(12) Dan setelah mereka kenyang Ia
berkata kepada murid-murid-Nya: "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih
supaya tidak ada yang terbuang."
(13) Maka merekapun mengumpulkannya, dan
mengisi dua belas bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai
yang lebih setelah orang makan.
Biasanya kita memahami nash dalam Yohanes 6: 5 – 13 sebagai bukti
Kebesaran Tuhan dimana Tuhan telah memberi makan lima ribu orang dari sekerat
roti dan dua ikan. Tetapi disini saya mencoba melihat secara berbeda. Buat
saya, Tuhan memberi makan lima ribu orang bukan merupakan suatu yang luar
biasa, sama sekali tidak menunjukkan kebesaran Tuhan, apalagi makanan tersebut
berasal dari sekerat roti dan ikan. Bahkan, menurut saya, kalau kita melihat
peristiwa tersebut sebagai bukti kebesaran Tuhan, sesungguhnya kita telah
mengecilkan Tuhan. Kita lupa, bahwa Tuhan telah memberi makan bukan hanya lima
ribu orang, tetapi sudah memberi makan setiap hari kepada lebih dari lima
milyar orang. Bahkan Tuhan tidak perlu menggunakan barang yang sudah ada untuk
memberi makan kepada lima milyar orang lebih. Tuhan telah memberi makan kita
melalui cipta dari bahan yang tak ada. Dari ketiadaan diciptakan menjadi
keberadaan. Itulah Tuhan. Yang menjadi masalah lalu, apa maksud Yohanes
menceritakan peristiwa Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang?
Saya yakin maksud Yohanes sang penulis bukan untuk membuktikan
kebesaran Tuhan, karena saya yakin Yohanes faham betul bahwa makanan yang
setiap hari dia dan orang-orang lain makan datangnya dari Tuhan, dia terima
karena kasih karunia Tuhan. Menganggap Tuhan memberi makan lima ribu orang akan
memperkecil Tuhan, bukan menunjukkan kebesarannya. Saya yakin maksud Yohanes
menulis periwtiwa tersebut adalah karena peristiwa tersebut mempunyai nilai
pelajaran yang harus kita jalani didalam kehidupan ini.
Didalam kehidupan nyata kita, kita sering mengalami masalah serupa
sebagaimana yang diceritakan oleh Yohanes tersebut. Kita seringkali (bahkan
hampir selalu) berfikiran dan bertindak seperti para murid ketika dihadapkan
pada masalah adanya orang lain yang bernasib malang yang membutuhkan bantuan
kita, khususnya bantuan keuangan. Ketika kita berhadapan dengan situasi
demikian, kita seringkali, sebagaimana halnya para murid, menjawab, “pada kami
hanya ada uang sekian. Mana cukup kalau harus berbagai dengan orang lain. Besok
saja kalau saya sudah kaya, sudah berkecukupan, saya akan berbagai dengan orang
lain.” Mungkin, kita memang merasa belum berkecukupan, sehingga masih merasa
sah kalau kita tidak bersedia berbagi, lha wong kita sendiri masih kekurangan.
Seringkali, kita sudah punya rumah, tetapi masih kurang, karena rumah kita
tidak besar, kurang mewah, karena itu kita harus dengan keras menabung agar
besok setelah sekian tahun kita bisa membeli rumah yang lebih besar yang lebih
baik. Karena kita masih membutuhkan banyak uang dan harus menabung, maka kita merasa
masih belum berkecukupan. Pasti tidak cukup (untuk membeli rumah yang lebih
besar) kalau saat itu kita harus berbagi. Apalagi, orang-orang yang mengalami
kesusahan disekitar kita sangat banyak. Lalu, sebagaimana para murid, kita juga
akan berkata: “pada kami hanya ada uang sekian, mana cukup kalau saya harus
berbagi dengan orang lain.”
Ketika kita telah bisa membeli rumah yang lebih besar dan lebih
baik dari hasil tabungan kita yang ternyata sangat berhasil berkat pelajaran
menejemen keuangan rumah tangga yang sering diajarkan pada kita, timbul
keinginan baru. Mobil kita terasa sudah tua, karena itu perlu diganti dengan
yang baru dan lebih baik. Berdasarkan pelajaran menejemen keuangan rumah
tangga, kita diajari harus menabung, dan dengan ketat tidak boleh diambil
barang seperakpun, kalau bukan untuk keperluan sesuai dengan tujuan kita
menabung. Saat itu, ketika kita mengetahui ada orang lain yang sangat
membutuhkan bantuan keuangan, kita belum bersedia membantu, karena kita tidak
mempunyai kelebihan uang. Tabungan kita, menurut teori menejemen keuangan rumah
tangga, tidak boleh diambil, sekalipun tetangga kita hujan air mata darah.
Karena kita belum mempunyai kelebihan, maka niat menolong kita harus kita tunda
lagi, hingga tujuan tabungan kita, yaitu untuk membeli mobil baru yang lebih
baik dari pada yang kita miliki saat ini, telah tercapai. Tetapi, ketika kita
telah bisa membeli mobil baru yang lebih baik dari hasil tabungan kita, muncul
keinginan baru lagi. Karena mobil kita baru satu, dan yang satu-satunya itu
selalu dipakai oleh pasangan kita untuk bekerja, maka kita berfikir, akan lebih
baik kalau kita bisa membeli mobil satu lagi, khusus buat kita atau isteri kita
bepergian untuk keperluannya sendiri, sehingga tidak perlu berpanas dan hujan
naik sepeda motor atau bahkan ojek atau angkot. Akhirnya, kita memutuskan untuk
menabung kembali, dan demikian seterusnya.
Kalau kita mau jujur, keinginan kita (bukan kebutuhan kita, harap
dibedakan antara keinginan dan kebutuhan) sama sekali tak ada batasnya, tak pernah
ada akhirnya. Karena itu, Tuhan mengajari pada kita untuk tidak menunggu bahwa
kita harus berkecukupan, yang ukurannya selalu melar, dan tidak berusaha
memenuhi keinginan kita dulu untuk membantu dan menolong orang lain. Kalau kita
harus merasa berkecukupan dahulu, maka keinginan kita untuk menolong sesame
dapat dipastikan, hingga kita memasuki liang lahat, keinginan tersebut tak
pernah kesampaian. Yang diajarkan pada kita dari nash tersebut adalah,
seberapapun milik kita, berbagilah dengan orang lain yang membutuhkan.
Sekalipun hanya mempunyai sekerat roti dan dua ikan, kita tetap harus berbagi.
Ketika kita berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, maka mukjizat akan
terjadi. Sesuatu yang semula kita perkirakan tidak cukup akan menjadi cukup,
sesuatu yang kita perkirakan akan gagal akibat berbagi, malah akan berhasil.
Namun demikian, kita harus ingat, bahwa yang dijanjikan Tuhan adalah memenuhi
kebutuhan kita, bukannya keinginan kita, karena kebutuhan ada batasnya,
sementara keinginan tanpa batas. Keserakahan kita membuat batas keinginan
menjadi tidak mungkin. Berbagi itu memang indah, seindah janji Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar