Pages - Menu

Senin

PANGGILAN: Sebuah Pengalaman Pribadi



Hadi Wahono


Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi didalam hidup saya (dan betul-betul merupakan pengalaman nyata), yang walaupun banyak detail telah terlupakan, tetapi secara garis besar dan keseluruhannya tidak pernah terlupakan, karena pengalaman ini merupakan pengalaman yang sangat mengesankan dalam hidup saya, dan pada masa terakhir ini saya hayati sebagai panggilan Tuhan (terlepas kebenarannya). Dari berbagai peristiwa yang kemudian saya hayati sebagai panggilan Tuhan inilah spiritualitas saya terus berkembang, walaupun memakan waktu yang panjang dan karena baru ditanggapi pada masa tua, sampai saat ini belum sempat terfahami dengan mendalam dan belum terinternalisasi dengan baik. Akibatnya, ketika orang lain seusia saya telah menemukan arti hidup dan kehidupannya dengan mantap, saya masih harus menjalani pergumulan spiritual yang hampir-hampir tiada akhir. Karena itu, blog yang saya maksudkan sebagai wahana berbagi hasil pergumulan yang masih belum berakhir ini saya namakan sebagai: “Pergumulan Spiritual”.
Untuk ringkasnya, ada baiknya saya langsung saja masuk pada cerita mengenai berbagai pengalaman hidup saya yang buat saya sangat mengesankan dan yang saya hayati sebagai panggilan Tuhan ini.

Saya dilahirkan dari keluarga yang sama sekali tidak mengenal agama, bahkan boleh dikata tidak mengenal Tuhan. Karena itu, saya sama sekali tidak percaya akan adanya Tuhan, apalagi Tuhan yang bisa dimintai tolong melalui doa. Buat saya kepercayaan pada Tuhan tidak masuk akal. Bagaimana saya bisa percaya pada hal-hal yang tak pernah dan tak bisa saya lihat? Bagaimana mungkin saya akan berdoa, karena saya tidak pernah tahu dimana Dia berada, apakah Dia bisa mendengarkan doa saya, apalagi melakukan sesuatu buat menolong saya.
Ketika saya masih sekolah di SMP; saya sangat menyukai acara camping. Pada setiap liburan, walaupun tanpa pengawalan guru atau orang yang lebih senior, saya hampir selalu mengajak teman-teman untuk cmping. Buat saya, camping merupakan salah satu bentuk petualangan yang paling ringan dan paling mudah dilakukan. Saya memang menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat petualangan. Karena itu, ketika saya telah memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA/SLTA) saya mulai mencari tantangan baru. Saat itu saya bersekolah di Salatiga, dimana gunung Merbabu dan Merapi terlihat jelas dari tengah kota. Dari sana saya menemukan tantangan yang cukup menarik. Mendaki gunung. Karena itu, saya melibatkan diri pada kelompok pendaki yang bernama Merbabu Mountaineer Club.
Pada suatu saat, ada empat orang yang berencana untuk mendaki gunung Merapi. Tetapi pada saat terakhir, pimpinan pendakian jatuh sakit. Padahal, segala kelengkapan telah dipersiapkan, termasuk ijin pendakian (saat itu tahun 1969 dimana untuk melakukan pendakianpun harus mendapat ijin dari kepolisian dan Kodim). Karena dua orang diantara mereka adalah kawan dekat saya, maka mereka meminta saya untuk menggantikan pimpinan pendakian yang sakit. Mereka meminta saya memimpin pendakian, karena ketiga orang yang nekat ingin mendaki tersebut sama sekali belum mempunyai pengalaman mendaki. Karena itu, mereka meminta saya untuk memimpin, karena saya mereka pandang telah memiliki pengalaman. Padahal saya sama sekali tidak mempunyai pengalaman mendaki Merapi. Tetapi karena permintaan mereka merupakan tantangan yang menarik buat saya, maka saya menerimanya, walaupun karena waktu yang sudah sangat pendek, kurang dua hari lagi, saya sama sekali tidak melakukan persiapan apapun juga.
Pendakian kami lakukan melalui jalur utara, yang merupakan jalur tersulit, paling tidak dibandingkan dengan jalur selatan. Selama pendakian, sampai di bekas pos pengamatan Merapi, semuanya berjalan lancar.  Kami meninggalkan semua pakaian dan perbekalan kami di bekas pos pemantauan Merapi, karena kami berencana untuk tidur disana. Setelah meletakkan barang-barang bawaan yang tidak kami butuhkan dan beristirahat sebentar, kami segera meninggalkan bekas pos tersebut. Setiba kami ditempat yang oleh para pendaki dari Salatiga disebut sebagai "Pasar Bubrah", saya mulai tertegun melihat medannya. Dari sana hingga puncak harus mendaki gunung berbatu dengan kemiringan lebih dari 80 derajad. Sebetulnya saja merasa cemas, tetapi karena saya pimpinan pendakian, maka perasaan tersebut harus saya sembunyikan. Untuk mencoba menggagalkan upaya mencapai puncak (kawah), saya bertanya kepada mereka, apakah dengan medan yang seperti itu mereka tetap akan melanjutkan pendakian? Celakanya, mereka bersamaan menjawab "ya" dengan penuh semangat. Karena itu, setakut apapun, saya harus tetap mendaki sampai ke puncak. Karena diliputi perasaan takut, saya tak menyadari bahwa saya harus menentukan arah kembalinya nanti, walaupun kompas selalu melekat dipergelangan tangan saya. Padahal, saat itu puncak Merapi hampir selalu ditutupi kabut tebal, karena saat itu memang musim hujan.
Pendakian dari jalur utara, walaupun sebetulnya saya juga salah mengambil jalan, sangat sulit. Kami harus mendaki lereng gunung yang terjal dan berbatuan. Batu-batu tersebut adalah batu-batu bekas lahar yang telah mendingin dan membatu. Karenanya, banyak batu yang tidak tertanam dengan kokoh, hingga banyak yang berjatuhan ketika ditarik (untuk membantu mengangkat tubuh) atau diinjak. Karena itu kami tidak bisa mendaki secara berurutan, tetapi harus menyebar untuk menghindari batu-batu besar yang sering berguguran akibat digunakan untuk memanjat, sementara batu tidak melekat erat pada sisi gunung. Akibatnya, sesampainya di puncak saya mengalami kelelahan yang luar biasa, dan saking lelahnya (sebetulnya kelelahan lebih banyak disebabkan oleh kecemasan), setelah kami menuruni bibir kawah, dimana dibagian bawah terdapat tempat landai, saya dan seorang anggota pendakian, seorang mahasiswa Satyawacana, langsung duduk di bawah. Untunglah tidak lama kemudian saya sadar akan bahaya gas beracun yang keluar dari kawah. Karena itu saya segera berdiri, tetapi badan telah terlanjur bertambah lemas.
Tak terlalu lama ditepi kawah, kami kembali karena kami merencanakan menginap di bekas pos pengawasan gunung. Tetapi setelah naik keatas bibir kawah, pada bagian puncak, kami mulai menyadari bahwa kami tidak tahu arah sama sekali akibat kabut yang sangat tebal. Kami tidak dapat melihat sama sekali arah kembali ke bangunan bekas pos pengawasan, padahal semua barang dan bekal kami tinggal disana. Sementara itu, karena pada saat mendaki saya tidak menentukan arah bangunan bekas pos pengawasan dimana kami meninggalkan semua barang dan perbekalan kami, kami sama sekali tidak tahu harus pulang kearah mana. Akhirnya, kami hanya menggunakan insting kami.
Setelah cukup lama menuruni bukit batu terjal yang harus dilakukan sangat berhati-hati karena banyak batu-batu besar yang tidak kuat diinjak dan langsung bergelindingan, kami mulai merasa kesasar. Ketika mendaki, kami sama sekali tidak melihat jurang, tetapi saat itu kami berada dibawah jurang. Kami kebingungan. Akhirnya saya menentukan kami harus berbalik arah, karena saya perkirakan jurang tersebut adalah jurang yang terbentuk oleh aliran lava yang menuju ke Magelang atau Muntilan. Saya mengajak teman-teman untuk mempercepat perjalanan tetapi tetap menjaga kehati-hatian karena sangat sulitnya medan. Saat itu yang paling kami takutkan adalah turunnya hujan, karena kalau saja hujan turun, jalan menjadi sangat licin, dan kami membayangkan kemungkinan hujan batu akibat banyaknya batu yang longsor. Hal itu sangat mungkin, karena banyak batu-batu besar yang hanya menempel di tepi jurang, sama sekali tidak melekat, hingga kalau di goyang langsung berjatuhan.
Karena telah mulai merasa putus asa akibat tidak tidak tahu arah tujuan, bahkan sudah kesasar, sementara kabut sangat tebal, dimana jarak pandang tidak lebih dari dua atau tiga meter, ditambah dengan kelelahan yang sangat, salah seorang kawan saya yang sebetulnya paling senior, karena dia seorang mahasiswa, mulai merasa putus asa. Dia tidak mau jalan dan menyatakan minta ditinggal saja. Menurutnya, apapun usahanya percuma, karena sebentar lagi pasti akan turun hujan, sementara kita tidak tahu sedang berada dimana, kecuali dibawah jurang terjal yang tinggi.
Merasa sebagai pimpinan pendakian yang harus bertanggungjawab atas keselamatan semua anggota, saya minta pada kawan-kawan yang lain untuk beristirahat dahulu sambil mengamati medan, siapa tahu ada jeda kabut, sehingga bisa punya sedikit kesempatan untuk mengamati arah. Sementara mereka berusaha mengamati medan sambil duduk, saya berusaha membujuk kawan saya dan menyemangatinya agar mau berusaha sampai akhir mencari jalan pulang. Akhirnya saya berhasil membujuknya, dan kami berjalan lagi.
Tetap perjalanan tidak semakin jelas arahnya, bahkan terasa semakin tidak jelas, karena tiba-tiba saja kami berada ditepi longsoran pasir, sementara ketika mendaki jalur pasir tersebut sama sekali tidak ada. Untuk tetap menyemangati diri saya sendiri, saya selalu berfikir untuk melepaskan diri dari pencarian bekas bangunan pemantauan gunung Merapi. Saya berfikir bagaimana caranya mencapai hutan, karena saya yakin kalau sampai hutan saya pasti selamat, karena saya merasa cukup terlatih dan memiliki kemampuan survivel di hutan.  Dalam pikiran saya, kalau sampai di hutan, saya akan selamat dan bisa menemukan perkampungan tertinggi di lereng Merapi.
Mungkin akibat kelelahan yang sangat ditambah mulai dihantui oleh rasa putus asa disamping harapan menemukan hutan, saya mulai mengalami halusinasi. Saat itu saya merasa melihat ada hutan didepan kami, walaupun jaraknya jauh. Karena merasa yakin melihat hutan, saya berteriak-teriak kegirangan. Sementara itu, semua kawan-kawan saya tidak melihat apa-apa, apalagi saat itu sedang diselimuti kabut sangat tebal yang tak memungkinkan menembus pandang lebih dari dua atau tiga meter. Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa saya melihat hutan, bahkan kemudian saya melihat kubah masjid. Ini berarti di depan ada perkampungan. Di pedesaan, bangunan tertinggi adalah mesjid, karena itu, dalam pikiran saya, yang pertama kali saya lihat adalah kubah masjidnya, sementara bangunan masjid dan bangunan-bangunan lain di perkampungan tersebut tidak kelihatan karena tertutup hutan. Semua kawan-kawan saya berusaha meyakinkan saya bahwa tak ada hutan yang kelihatan dari sana. Jangankan hutan, apa yang ada didepan dalam jarak lebih dari tiga meter saja sudah tidak terlihat. Tetapi saya tetap bersikeras meyakini bahwa disana ada hutan. Untung saya bisa dicegah untuk melanjutkan perjalanan kearah hutan yang saya lihat tersebut, karena ternyata arahnya berlawanan dengan arah yang menuju ke bekas bangunan pemantauan gunung Merapi.
Karena teman-teman meminta untuk menunda melanjutkan perjalanan, maka saya duduk sambil mengamati keadaan sekitar, siapa tahu ada jeda kabut atau tanda-tanda yang memberi petunjuk arah. Ketika sedang mengamati keadaan sekitar, saya merasa melihat ditempat yang agak jauh ada alat besar, yang menurut pikiran saya saat itu kemungkinan itu alat untuk mengamati gunung. Dalam pikiran saya, kalau ada alat seperti itu, pastilah ada penjaganya. Karena itu, saya berteriak-teriak kepada kawan-kawan saya, bahwa saya melihat alat pengamatan gunung. Mereka semua kebingungan, karena tak satupun diantara mereka yang melihat alat apapun. Setelah berusaha mengamati lebih seksama lagi, saya melihat alat tersebut berubah menjadi robot yang dapat bergerak. Celakanya, robot tersebut bergerak kearah kami, sehingga saya berteriak-teriak ketakutan sambil memperingatkan kawan saya untuk menghindar dari robot raksasa tersebut. Untungnya, setelah semakin dekat, robot tersebut segera hilang.
Sampai disini, saya mualai sadar kalau saya mulai mengalami halusinasi. Sementara itu, dari raut muka dan cara pandang mereka, tampaknya kawan-kawan saya melihat saya sudah mulai gila. Untuk meyakinkan mereka bahwa saya tidak gila, saya mengumpulkan mereka dan mereka saya ajak berdoa. Karena agama kami berbeda-beda, diantara empat orang tersebut ada yang beragama Katholik, ada yang Kristen Protestan, ada yang Islam, dan ada saya yang sama sekali tidak beragama. Karena itu saya putuskan untuk berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi doa dimulai pada waktu yang bersamaan (tetapi waktu mengakhirinya tentu saja berbeda-beda). Saat berdoa tersebut, saya sama sekali tidak ikut berdoa, karena selain saya tidak tahu bagaimana caranya berdoa, saya juga tidak percaya dengan doa. Saya mengajak mereka berdoa hanya untuk membuktikan bahwa saya belum gila. Setelah semua selesai berdoa, tiba-tiba kabut tersingkap dan suasana menjadi terang benderang. Saat itu kami bisa melihat bekas bangunan pos pemantauan gunung Merapi. Segera saya melihat kompas dan mencatat derajad arah bangunan bekas pos pemantauan. Walaupun tidak lama kemudian kabut menebal kembali, tetapi kami sudah dapat menentukan arah perjalanan kami yang pasti, karena saya telah bisa menggunakan kompas sebagai penunjuk arah. Berkat tersingkapnya kabut beberapa menit tersebut kami semua dapat selamat.
Sepulangnya dari pendakian saya mulai merenungkan peristiwa yang saya alami, khususnya peristiwa doa. Saya benar-benar bingung, bagaimana setelah kami selesai berdoa, tiba-tiba kabut tebal tersingkap dan udara menjadi begitu cerah terang benderang. Saat ini, saya memperkirakan peristiwa tersebut sebagai panggilan Tuhan. Peristiwa tersebut merupakan panggilan Tuhan yang pertama terhadap saya. tetapi saat itu saya tidak memandangnya demikian. Saya memandang peristiwa tersebut sebagai sebuah kebetulan. Karena itu, saya masih tetap belum menanggapi panggilan sama sekali.
Semasa kuliah, saya pernah membaca sebuah buku, saya lupa apakah itu buku pelajaran SMA atau SMP atau mungkin hanya buku bacaan tambahan, yang berjudul: Alama Semesta. Dalam buku tersebut tidak hanya dijelaskan mengenai teori proses terjadinya alam semesta, tetapi juga dijelaskan mengenai gambaran alam semesta saat ini, dimana ternyata di alam semesta ada milyaran matahari yang dikelilingi oleh planet-planetnya. Sementara itu, seluruh alam semesta bergerak bersamaan dalam ruang kosong yang maha luas yang tak tergambarkan akal manusia, sehingga tidak dapat dibayangkan tujuannya. Diantara bermilyar-milyar benda angkasa tersebut ada satu planet kecil yang namanya bumi, yang kita huni, yang bergerak secara teratur bersama milyaran bintang dan planet dalam ruang kosong yang maha-maha luas. Keteraturan gerak tersebut memungkinkan bumi yang kita huni aman, karena benda-benda angkasa yang jumlahnya milyaran tersebut tidak saling berbenturan.
Saya membayangkan, diantara bermilyar-milyar planet di angkasa tersebut, selain bumi, tentu masih banyak planet yang bisa dihuni. Kalau saya andaikan jumlah planet di ruang angkasa ada 10 milyar (saya yakin sampai dunia kiamat, manusia tak akan mampu menghitungnya), maka jika yang seperjutanya bisa dan memang dihuni oleh mahluk semacam manusia, maka ada paling tidak 10.000 (sepuluh ribu) planet yang berpenghuni. Suatu jumlah yang menakjubkan.
Sebetulnya ketika duduk dibangku SMP dan SMA saya ingat saya juga pernah mendapat pelajaran serupa. Tetapi karena saat SMP dan SMA saya tergolong anak bandel, pelajaran alam semesta (dan banyak pelajaran lain) tak pernah saya perhatikan sebcara sungguh-sungguh, bahkan mungkin tidak saya perhatikan sama sekali. Karena itu, dari gambaran ruang angkasa yang saya peroleh dari bacaan yang kebetulan saya temukan tersebut, saya betul-betul mengalami ketakjuban yang luar biasa. Akibatnya, gambaran alam semesta yang demikian menakjubkan begitu menghantui pikiran saya. Berhari-hari saya merenungkannya, yang pada akhirnya sampai pada pertanyaan, kalau demikian, apakah semua itu terjadi secara kebetulan, atau apakah ada kekuatan yang membentuk dan mengaturnya? Dalam benak pikiran saya, walaupun saya memang sama sekali tak memahami alam semesta secara ilmiah, bagi saya, tidak mungkin alam semesta yang kebesarannya tak terhingga tersebut terjadi secara kebetulan. Pasti ada kekuatan yang luar biasa besarnya, yang tak terhingga kekuatannya, yang menciptakan dan mengatunya. Nah itulah “TUHAN”. Hari itu, untuk pertama kali dalam hidup saya, saya menemukan TUHAN, suatu kekuatan yang tak terhingga, yang menciptakan dan mengatur gerak alam semesta yang juga tak terhingga. Karena itu, sang pencipta dan pengatur yang kemudian saya sebut sebagai TUHAN tersebut pastilah jauh lebih luar biasa, jauh lebih menakjubkan lagi kekuatan dan kuasanya.
Karena dalam bayangan saya alam semesta begitu luas luar biasa hingga hampir-hampir tanpa batas, paling tidak batas yang bisa dibayangkan manusia, dan berdasarkan perkiraan saya ada sekian ribu planet selain bumi yang dihuni oleh mahluk, yang sebagian pasti sejenis manusia, maka manusia bumi menjadi sedemikian kecil, sedemikian tidak berarti di mata Tuhan. Karena itu, dalam konsep penciptaan alam semesta dan manusia, saya memandang setelah Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia yang hidup didalamnya, Dia meninggalkan atau membiarkan begitu saja kehidupan manusia. Setelah menciptakan manusia, Tuhan membiarkan manusia berjuang sendiri untuk menguasai alam dan berusaha sendiri untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep ini dikuatkan dengan nash dalam kitab Kejadian (Kejadian1: 28): Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu, bverkuasalah atas ikan-ikan dilaut dan burung-burung diudara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Karena itu, buat saya, walaupun saya sudah percaya akan adanya Tuhan, doa merupakan suatu kesia-siaan, suatu ketidak mungkinan. Sampai disini, saya mulai mempercayai Tuhan, tetapi saya tidak percaya dengan doa, dalam arti kita, manusia bisa berkomunikasi dengan Tuhan yang sedemikian Maha Besarnya dan Maha Dahsyatnya melalui doa. Kita, manusia, tak mungkin meminta bantuan pada Tuhan melalui doa. Bahkan Tuhan telah memerintahkan kita untuk berjuang dan berkuasa atas bumi, bukan minta diberi kuasa.
Ketika anak kedua saya kelas 4 SD; suatu hari dia mengalami sakit, muntah-muntah dan sekujur tubuhnya lemas. Segera saya bawa kesebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Menurut dokter, anak saya mengalami sakit ginjal dan harus mondok di rumah sakit. Kami terpaksa mengambil kamar kelas I agar saya dan isteri saya bisa menunggu tetapi tetap dapat beristirahat (tersedia tempat tidur untuk penunggu), walaupun kalau tidur harus bergantian. Dua hari mondok di rumah saki dan mendapatkan obat-obatan dalam jumlah banyak, kondisinya tidak semakin membaik, malah semakin memburuk. Pada sore harinya, anak saya mengatakan bahwa dia tidak dapat melihat apa-apa, dan pada malam harinya mulai tidak sadar. Kami berusaha menghubungi doketer yang menanganinya, tetapi tidak bisa. Akhirnya yang dating dokter jaga, yang menanyai saya, apa agama saya. Ketika ditanya soal agama, saya menjawab dan balik bertanya: “Kristen Protestan,” jawab saya. “Kok Tanya agama, memangnya ada apa?” Dokter tersebut menjawab, bahwa secara medis dia menyerah. Tetapi dia bersedia untuk memanggilkan pendeta. Mendengar jawabannya, saya menjadi marah. Saya bilang, kalau saya cari pendeta tidak ke rumah saki, tapi ke gereja. Saya datang ke rumah sakit bukan untuk mencari pendeta tetapi untuk mencari dokter. Sekali lagi, dia mengatakan, bahwa secara medis dia telah menyerah. Karena jengkel, saya jawab, kalau saya butuh pendeta nanti saya panggil sendiri.
Karena terus tidak sadar dan sebentar-sebentar harus di pompa jantung, saya sangat bersyukur kepada perawat yang telah merawat anak saya dengan sangat baik, karena para perawat selalu sigap untuk memberi nafas buatan dan memompa jantung, ketika anak saya (sebentar-sebentar) hampir hilang detak jantungnya, yang bisa saya lihat dari alat yang dipasang padanya. Karena dokter telah menyerah, isteri saya mengajak saya untuk terus berdoa, karena tinggal pada Tuhan lah kami bisa meminta pertolongan. Suatu pemikiran yang sebetulnya salah, karena seharusnya sejak pertama kami mempercayakan kesembuhan anak saya sepenuhnya pada Tuhan.
Semalaman kami berdua berdoa terus menerus. Pagi harinya, anak saya mulai sadar, tetapi matanya masih belum bisa melihat. Sesiang itu, kami berdua terus berdoa, dan akhirnya, sore harinya dia mengatakan telah bisa melihat cahaya. Kami merasa semua itu merupakan mukjizat yang luar biasa. Tetapi karena anak saya masih belum bisa melihat, kecuali hanya cahaya, malam itu, kami berdua (saya dan isteri saya) terus berdoa tanpa henti-hentinya. Pagi harinya kami merasakan mukjizat luar biasa kembali, karena pada pagi itu anak saya telah bisa melihat kami berdua yang sedang berdoa disisi tempat tidurnya. Berarti anak saya sudah bisa melihat, walaupun belum sempurna.
Karena setelah beberapa hari menginap di rumah sakit tersebut kondisi anak saya tidak kunjung membaik, maka kami putuskan untuk membawanya pulang. Semula dokter melarang. Tetapi kami nekat pulang, karena toh kondisinya tetap tidak kunjung membaik. Akhirnya setelah menandatangani pernyataan pulang paksa, kami dibolehkan pulang dengan diberi resep yang harus ditebus di rumah sakit yang bersangkutan, yang jumlah obatnya sangat banyak.
Selama dirumah, kondisi kesehatan anak saya terus menurun. Akhirnya, disuatu siang, setelah isteri saya selesai berdoa di tepi ranjang anak saya, dia seperti mendengar suara: “Sungsang.” Peristiwa tersebut langsung diceritakan kepada saya, tetapi saya tidak tahu apa arti suara tersebut. Akhirnya, setelah lama berusaha berfikir isteri saya berteriak, “dokter Sungsang, pa, dokter Sungsang, bawa anak kita ke dokter Sungsang.” Sore itu juga, kami membawa anak saya ke dokter sungsang, yang berpraktek di Kalasan, dengan membawa semua obat yang diberikan pada anak saya beserta semua rekam mediknya. Melihat rekam mediknya, doketer Sungsang memerintahkan untuk membuang semua obat yang diberikan oleh rumah sakit dan memerintahkan untuk tidak memantang apapun (semula rumah sakit memberi banyak pantangan makanan untuk anak saya). Bahkan dia berkata, untung kami cepat dating kepadanya, karena kalau terlambat, anak kami bisa tidak tertolong lagi. Oleh dokter Sungsang, anak saya hanya diberi fitamin, yang katanya untuk membantunya meningkatkan kesehatannya.
Setelah menghentikan obat yang diberikan oleh rumah sakit dan meminum fitamin yang diberikan oleh dokter Sungsang, kondisi kesehatan anak saya berangsur membaik. Kalau kami fikirkan, ini merupakan malpraktek dari doketer rumah sakit tersebut, tetapi kami memutuskan untuk tidak melakukan tuntutan apapun. Yang kami fikirkan saat itu hanya pulihnya kesehatan anak kami, yang memang terus berangsur membaik, hingga sembuh total.
Dari peristiwa ini, saya mulai menyadari kesalahan saya, bahwa ternyata kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan, kita bisa memohon kepada Tuhan, bahkan kita bisa mendengar suara, entah suara apa, tetapi yang kami yakini dating dari Tuhan. Karena itu, mulai saat itu saya percaya bahwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa.

Sebagai orang Jawa, saya terpengaruh oleh budaya saya, bahwa untuk bisa berhubungan dengan Sang Pencipta, Sang Pemilik Hidup (Kang Murbo ing Dumadi), kita harus bersih, harus suci. Hanya orang-orang yang bersih dan sucilah yang doanya didengar oleh Yang Maha Kuasa. Karena itu, timbul pertanyaan dalam pikiran saya, karena yang terus menerus berdoa saya dan isteri saya,  doa siap yang dikabulkan? Mengingat budaya Jawa sebagaimana tersebut diatas, saya yakin doa isteri sayalah yang didengar Tuhan. Saya yakin, doa saya pastilah tidak mungkin dan tidak akan pernah didengar Tuhan. Karena itu, sejak saat itu saya percaya bahwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan untuk mencurahkan seluruh permasalahan kita melalui doa, tetapi saya juga percaya bahwa hanya isteri saya yang doanya didengar oleh Tuhan, sementara doa saya pasti tidak akan didengarNya. Karena itu, kalau memerlukan pertolongan Tuhan, saya meminta isteri saya untuk berdoa, sementara saya tetap tidak pernah berdoa, karena saya masih yakin kalau doa saya akan sia-sia karena tidak mungkin didengar Tuhan. Bahkan anak-anak saya juga tidak percaya dengan doa saya. Hal ini sering terjadi, misalnya ketika anak-anak kami sedang menghadapi ujian, baik ujian kelulusan, ujian kenaikan kelas maupun ujian ulangan umum, setiap malam kami sekeluarga selalu berdoa bersama, khususnya untuk mendoakan anak-anak yang sedang menghadapi ujian. Dalam peristiwa demikian, anak-anak selalu menolak kalau saya usul agar saya yang memimpin doa. Mereka selalu meminta mamanya yang memimpin doa, dengan alasan doa papa tidak manjur.
Lebih kurang tahun 2000 dimana saat itu saya bekerja pada sebuah LSM di Yogyakarta, ada suatu kejadian yang merubah pikiran saya. Pada suatu hari, saya berangkat ke kantor dengan mengendarai satu-satunya sepeda motor yang dimiliki keluarga saya. Hari itu, saya sama sekali tidak memiliki uang, kecuali hanya untuk membeli seliter bensin untuk saya gunakan pulang pergi kekantor hari itu. Dari rumah saya sudah berencana untuk meminjam uang kekantor. Tetapi kalau pagi-pagi dimana masih banyak orang dikantor saya sudah meminjam uang, saya agak tidak enak dengan kawan-kawan di kantor. Larena itu, rencana saya untuk meminjam uang dari bendahara kantor saya tangguhkan hingga nanti sebelum pulang saja, dimana biasanya teman-teman sudah berangkat ke lapangan atau teman-teman lapangan yang tidak mempunyai tugas sudah pulang. Karena siang itu pekerjaan saya telah selesai, dan kebetulan saya juga tidak mempunyai tugas lapangan, tetapi kalau mau meminjam uang masih tidak enak karena ternyata hari itu banyak teman-teman yang tidak bertugas kelapangan tetapi tidak segera pulang-pulang juga, maka keinginan saya untuk meminjam uang saya tangguhkan sampai nanti. Karena saya mengantuk, maka saya putuskan untuk tidur dahulu. Karena di kantor tidak ada tempat tidur, maka saya tidur diatas meja yang banyak tersusun dipojok ruang pertemuan, yang memang selalu ditumpuk ketika tidak digunakan. Agar supaya tidak ada yang melihat kalau saya tidur, maka disisi bangku tempat saya tidur saya tutupi dengan papan tulis (white board) yang memang juga diletakkan di pojok ruangan pertemuan. Kebetulan di kantor ada beberapa papan tulis besar-besar, sehingga bisa menutupi tempat saya tidur dengan rapat. Karena memang sangat mengantuk, saya segera tertidur dengan pulas. Celakanya, ketika terbangun pada sore harinya, semua teman-teman telah pulang, termasuk bendahara kantor. Bahkan semua pintu kantor telah terkunci. Rupanya usaha saya untuk tidur ditempat tersembunyi berhasil, sehingga tidak ada kawan yang tahu kalau saya masih tidur di kantor. Untung ada ruang yang dikunci dari dalam, sehingga bisa saya buka dan saya bisa keluar. Tetapi bersamaan dengan itu, saya juga tidak bisa meminjam uang pada siapapun juga, karena di kantor sudah sama sekali tidak ada orang. Akhirnya saya terpaksa pulang tanpa membawa uang sepeserpun di saku saya. Karena saya lupa membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Surat Ijin Mengemudi (SIM) sepeda motor yang memang tidak saya miliki, sementara bensin di tanki motor saya pas-pasan, maka sebelum berangkat saya terpaksa memberanikan diri menghadap Tuhan dalam doa dengan permohonan agar saya bisa selamat sampai dirumah tanpa halangan suatu apapun.
Dengan berbekal doa yang hampir tidak pernah saya lakukan sebelumnya, saya pulang. Celakanya, dijalan satu arah dekat tikungan, ada razia sepeda motor. Karena dekat tikungan, saya sama sekali tidak sempat melihat adanya polisi yang mencegat sepeda motor. Akibatnya, begitu membelok, saya sudah berada didepan Polisi. Karena yang diperiksa banyak, saya harus antre mendapat giliran diperiksa. Sambil menunggu giliran, saya mulai berfikir dan menjadi semakin yakin bahwa doa saya sama sekali tidak didengar Tuhan. Buktinya walaupun saya sudah berdoa, tetap saja ada razia sepeda motor, sementara saya sama sekali tidak membawa surat-surat kendaraan. Saya juga membayangkan sepedamotor saya akan disita, dan saya terpaksa pulang ke rumah dengan berjalan kaki, padahal jaraknya masih sangat jauh, sekitar 5 kilo meter. Tetapi kemudian saya berikir bahwa saya harus berdoa sekali lagi. Karena itu, sambil menunggu antrean, saya berdoa sekali lagi. Setelah membuka mata, ternyata sudah tiba pada giliran saya untuk diperiksa. Tetapi anehnya, saya lihat polisi didepan saya malah menggeser ke samping, sehingga didepan saya ada lowongan untuk lewat. Tanpa berfikir panjang, saya menjalankan sepeda motor saya pelan-pelan, tetapi tanpa berhenti untuk diperiksa. Anehnya, semua polisi yang ada disitu dan beberapa polisi yang berjaga di bagian depan diam saja ketika saya melewati mereka, seolah-olah mereka tidak melihat saya. Karena itu, saya tetap berjalan terus dengan perlahan-lahan, hingga setelah jauh dari tempat pemeriksaan barulah saya menjalankan sepeda motor saya dengan agak cepat. Akhirnya saya bisa tiba dirumah dengan selamat, dalam arti tidak harus berjalan kaki.
Dengan peristiwa tersebut saya mulai percaya bahwa saya juga bisa berdoa, dalam arti saya mulai percaya bahwa Tuhan juga mendengarkan doa saya. Namun demikian, karena peristiwa tersebut baru sekali terjadi, saya belum yakin betul. Baru setelah kejadian serupa terulang hingga tiga kali, dimana dengan berdoa polisi membiarkan saya berlalu (saya memang pelupa, sehingga seringkali mengendarai kendaraan tanpa membawa surat-surat sama sekali, bahkan beberapa kali mengendarai sepeda motor tanpa helm didepan polisi), barulah saya yakin betul bahwa Tuhan juga mendengarkan doa saya. Sejak saat itu saya bahkan mengumumkan didepan keluarga bahwa sekarang saya sudah bisa berdoa. Sejak itu, anak-anak juga mulai percaya bahwa saya juga bisa berdoa, karena itu mereka mulai bersedia jika dalam doa bersama saya yang memimpin doa. Sejak saat itulah saya sedikit banyak mulai aktif membaca,  mempelajari, dan mempergumulkan Firman Tuhan melalui Kitab Suci.

Tidak ada komentar: